Merayakan Maulid Nabi: Bid’ah Hasanah atau Sesat? Ini Pandangan Ulama

Merayakan Maulid Nabi: Bid’ah Hasanah atau Sesat? Ini Pandangan Ulama

Bulan Rabiul Awal 1447 H jatuh pada Ahad malam Senin (24/08/2025), karena kalender Hijriah berganti saat Maghrib. Sehingga, 1 Rabiul Awal secara resmi jatuh pada hari Senin (25/08/2025). Bulan ini juga dikenal sebagai bulan Maulid, yang berarti bulan kelahiran. Ini merujuk pada pendapat mayoritas ahli sejarah yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW lahir di bulan ini. Lantas, bagaimana sebenarnya hukum merayakan maulid Nabi dalam Islam? Apakah termasuk ibadah yang dianjurkan atau justru dilarang?

Apa Itu Maulid Nabi?

Maulid Nabi dapat didefinisikan sebagai peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan berbagai bentuk kebaikan seperti membaca sejarah hidup beliau(siroh), bersholawat, mendengarkan tausiyah, bersedekah, dan lainnya. Tujuannya adalah untuk mengenal, meneladani, serta mengungkapkan kebahagiaan atas kelahiran manusia paling mulia, Rasulullah SAW.

Topik ini telah banyak dibahas ulama dalam berbagai kitab, mulai dari sejarah, dalil kebolehan, pendapat ulama, hingga larangan mencampuradukkan acara maulid dengan kemungkaran.

Siapa yang Pertama Kali Merayakan Maulid?

Jika menilik sejarah,format perayaan maulid dengan rangkaian agenda khusus seperti pembacaan qasidah dan siroh dalam satu majelis memang tidak ditemukan pada zaman Nabi. Namun, jika ditelisi satu per satu, aktivitas dalam maulid tidak ada yang bertentangan dengan syariat.

Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam kitab “Haula al-Ihtifal bi Dzikri Maulidir Rosul” menyebutkan bahwa orang yang pertama kali merayakan maulid adalah Nabi Muhammad SAW sendiri. Suatu ketika, Rasulullah ditanya oleh para sahabat mengapa beliau berpuasa pada hari Senin. Beliau menjawab, “Itu adalah hari kelahiranku, dan aku berpuasa pada hari itu sebagai bentuk syukur.” (HR. Muslim).

Namun, sebagai sebuah event besar yang dihelat untuk umum, sejarah mencatat Raja Malik Mudhoffar Abu Sa’id pada abad ke-4 Hijriah sebagai pelopor utamanya. Ia mengadakan perayaan dengan mengumpulkan banyak orang, bersedekah, membaca siroh nabawiyah, dan bersholawat. Imam As-Suyuthi dalam Al-Hawi lil Fatawi mengutip dari Ibnu Zaujiyyah dalam Mir’atuz Zaman yang menceritakan kemegahan acara yang digelar raja yang adil dan dermawan ini, dengan menyediakan ribuan hewan qurban dan hidangan untuk rakyatnya.

Kapan Tanggal Lahir Nabi Muhammad SAW?

Para sejarawan memang berbeda pendapat mengenai tanggal pasti kelahiran Nabi.Pendapat yang paling kuat (rojih) adalah tanggal 12 Rabiul Awal Tahun Gajah. Dalam penanggalan Masehi, beberapa pendapat menyebutkan sekitar 14 April 571 M. Sementara Syekh Muhammad Ridha dalam kitab “Muhammad Rasulullah” justru berpendapat tanggal 20 Agustus 570 M.

Bagaimana Hukum Merayakan Maulid Nabi?

Pertanyaan tentang hukum merayakan maulid telah diajukan sejak berabad-abad lalu.Imam Jalaluddin As-Suyuthi (849-911 H) telah menjawabnya dalam kitab Al-Hawi Li Al-Fatawi. Beliau menyatakan bahwa asal perayaan maulid—yaitu berkumpulnya orang banyak, membaca Al-Qur’an, meriwayatkan kisah-kisah tentang Nabi, dan kemudian menghidangkan makanan—adalah termasuk Bid’ah Hasanah (inovasi yang baik). Pelakunya mendapat pahala karena dalam acara itu terdapat bentuk pengagungan terhadap Nabi dan menampakkan kebahagiaan atas kelahirannya.

Hakikat maulid adalah bentuk ungkapan syukur dan kegembiraan atas diutusnya Nabi Muhammad SAW, sang rahmat bagi seluruh alam. Alloh SWT berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah (Muhammad), Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58)

Banyak ulama menafsirkan bahwa “rahmat” dalam ayat ini merujuk pada Nabi Muhammad SAW, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Anbiya’: 107: “Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”

Bahkan, dalam sebuah syair yang dinukil oleh Al-Hafizh Ad-Dimasyqi, disebutkan bahwa orang kafir saja diringankan adzabnya setiap hari Senin karena ia bergembira dengan kelahiran Nabi. Lalu bagaimana dengan seorang muslim yang sepanjang hidupnya bergembira dengan Nabi Muhammad dan mati dalam keadaan beriman?

Penutup/Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan para ulama,perayaan Maulid Nabi yang diisi dengan aktivitas positif seperti mengingat siroh nabawiyah, bersholawat, bersedekah, dan menebar kebaikan merupakan bentuk ungkapan syukur yang diperbolehkan bahkan terpuji. Esensinya adalah meneladani akhlak Rasulullah SAW dan memperkuat kecintaan kita kepadanya, bukan sekadar seremonial belaka. Namun, penting untuk menjaga acara tersebut dari hal-hal yang bertentangan dengan syariat, seperti ikhtilath (campur baur lawan jenis yang bukan mahram) dan kemungkaran lainnya. Wallahu a’lam bish-shawab.

Referensi

As-Suyuthi, J. Al-Hawi lil Fatawi. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.

Ar-Ridha, M. (2010). Muhammad Rasulullah. Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyah.

Al-Maliki, M. B. A. Haula al-Ihtifal bi Dzikri Maulid an-Nabawi.

Bagikan ke: