Posted on Leave a comment

Shalat Berjamaah

Shalat berjamaah merupakan shalat yang dilakukan bersama-sama, paling sedikit itu terdiri dari imam dan seorang makmum. Adapun hukum shalat berjamaah ialah sunnah muakkad (sunnah yang sangat dianjurkan).

Berdasarkan hadist muttafaq alaih :

صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة

“Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian selisih dua puluh tujuh derajat (shalat)”. (HR. Muslim)

Sedangkan Imam An-Nawawi berkata:

“Menurut pendapat Ashah1, shalat berjama’ah dalam shalat ada’ (tunai) hukumnya fardhu kifayah bagi laki-laki baligh, merdeka dan bermukim. Dimaksudkan agar dapat menambah syiar ditempat didirikan shalat berjama’ah. Sedangkan menurut Imam Ahmad mengatakan hukum berjama’ah merupakan fardhu Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan hukum berjama’ah merupakan fardhu ‘ain.

Keutamaan/Fadhilah Shalat Berjama’ah

Ada beberapa keutamaan sholat berjamaah, diantaranya ialah:

  • Ada kesempatan menjawab azan-nya muadzzin
  • Akan berangkat pagi-pagi untuk berjama’ah awal waktu
  • Malaikat memintakan ampun dan menjadi saksi
  • Akan aman dari lupa
  • Melahirkan syiar islam
  • Tolong menolong dalam ketaatan
  • Bisa mendapati takbiratul ihramnya imam
  • Menjadikan syetan marah atas perkumpulan dalam ibadah
  • Terjadi saling menjaga waktu-waktu shalat
  • Bisa menjawab imam ketika imam mengucapkan “sami’ allahu li man hamidah” dan banyak lagi.

Kisah Tertinggal Shalat Berjama’ah

Sayyidina Umar bin Khattab RA dikenal sebagai sosok yang rajin beribadah dan tidak pernah absen dari shalat berjama’ah Bersama Rasulullah. Meski demikian, Sayyidina Umar bin Khattab RA pernah sekali ketinggalan shalat jama’ah, beliau sempat lalai di kebun kurmanya. Saat beliau tertinggal, yang dilakukannya benar-benar menggetarkan. Kisah ini tercantum dalam kitab Anisul Mu’minin karya Shafuk Sa’dullah Al-Mukhtar, yang diriwayatkan oleh putra beliau, Abdullah bin Umar RA.

Suatu hari, Sayyidina Umar bin Khattab RA pergi ke kebun kurma, setelah merasa cukup mengurusi kebunnya, Sayyidina Umar bin Khattab RA pulang ke rumahnya.

Saat dalam perjalanan pulang, Sayyidina Umar bin Khattab RA melihat sejumlah orang telah selesai shalat jama’ah ashar.

Seketika itu, Sayyidina Umar bin Khattab RA berucap, “Inna lillahi wa Inna ilaihi roji’un, aku ketinggalan shalat jama’ah.” Sayyidina Umar bin Khattab RA melanjutkan ucapannya didepan orang-orang, beliau pun menyatakan menyedekahkan kebunnya,. “Saksikanlah, mulai sekarang aku sedekahkan kebunku untuk orang-orang miskin” ucap Sayyidina Umar bin Khattab RA.

Sayyidina Umar bin Khattab RA meniatkan sedekah itu sebagai bentuk pembayaran kafarat2 atau semacam denda karena tertinggal shalat jama’ah.

Demikianlah kisahnya Sayyidina Umar bin Khattab RA Ketika tertinggal shalat berjama’ah.

Bagaimana dengan kita?

Setelah mendengar kisah Sayyidina Umar bin Khattab RA, apakah masih ingin bermalas-malasan shalat berjama’ah?

Yuk kita biasakan shalat berjama’ah.

  1. Ashah: Menunjukkan bahwa perbedaan ashhab Syafi’i yang keluar dari kaidah-kaidah Imam Syafi’i. Ini pendapat rojih(kuat) karena kuatnya dalil. ↩︎
  2. Kafarat: denda yang harus dibayar karena melanggar larangan Allah atau ingkar janji. ↩︎

Referensi Kitab

Al-Bakri, S. (2007). Hasyiah I’anah Ath-Thalibin. Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyah.

Posted on Leave a comment

Shalat Dzuhur Dengan Niat Shalat Ashar, Memangnya Boleh?

Salah satu rukun dalam shalat ialah niat, yang dilakukan ketika takbiratul ihram.

Kejadian yang terkadang kita alami ialah ketika hendak shalat seperti dzuhur pada saat takbiratul ihram kita berniat dengan shalat ashar ataupun sebaliknya.

Apakah boleh melakukan hal tersebut?

Dan apakah itu niat? Kita bahas dulu ya apa yang dimaksud dengan niat…

Pengertian Niat

Niat merupakan salah satu rukun dalam shalat, yaitu rukun qalbi (diucapakan dalam hati) saat memulai shalat (ketika takbiratul ihram).

النية قصد شيء مقترنا بفعله

“Niat adalah bermaksud mengerjakan sesuatu (pekerjaan), sambil dibarengi dengan melakukan sesuatu (pekerjaan) itu”.

Sedang tempatnya niat itu terdapat di dalam hati.

Adapun yang Diwajibkan Dalam Niat Ada 3 yaitu:

  1. Qasad (قصد): Menyebutkan niat atau bermaksud shalat (اُصلي)
  2. Niat fardhiyah (نية الفرضية): Menyebutkan kewajiban shalat tersebut
  3. Ta’yin (تعيين): Menyebut atau menentukan nama shalat-nya, misalnya dzuhur.

Tingkatan shalat di dalam niat

Shalat Fardhu

Yang harus dihadirkan dalam shalat fardhu ada tiga hal, yaitu sebagai berikut :

  • Niat atau bermaksud shalat (اُصلي)
  • Menyebut kefardhuan shalat tersebut (فرض)
  • Menyebut atau menentukan nama shalat-nya, misalnya shalat dzuhur (ظهر)

Shalat Sunnah yang Mempunyai Waktu Tertentu

Yaitu shalat-shalat yang dikerjakan pada waktu tertentu, seperti: qabliyyah, ba’diyah, witir, hari raya, dhuha dan lain-lain.

Dalam niat shalat tersebut yang wajib dihadirkan dalam hati ada dua, yaitu:

  • Niat atau qasad (اُصلي)
  • Menyebut nama shalat, seperti shalat qabliyyah dzuhur (قبلية الظهر)

Contoh niat shalat qabliyyah dzuhur

اصلي قبلية الظهر

Artinya : “Aku niat shalat qabliyyah dzuhur

Shalat Sunnah Mutlak

Yaitu shalat yang tidak terikat dengan waktu (boleh dilakukan kapan saja). Jika yang dilakukan shalat seperti itu maka yang harus dihadirkan dalam hati adalah maksud atau niat saja.

Contoh:

اُصلي

Artinya : “Aku niat shalat

Kaidah Fiqh

ما يشترط فيه التعين فالخطأ فيه مبطل

“Sesuatu yang memerlukan penentuan (ta’yin), maka kesalahan dalam memberikan penentuan menyebabkan batal”

Contoh kejadian :

Seseorang yang melakukan shalat dzuhur dengan niat ashar atau sebaliknya, maka shalat-nya tersebut tidak sah. Karena, ketika niat shalat, wajib ta’yin yaitu menyebut atau menentukan shalat-nya.

Refferensi Kitab

al-Bayjuri, S. I. (2007). Hasyiah al-Bayjuri Ala’ Ibn Qosim. Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyah.

Posted on Leave a comment

Thaharah: Bersuci

Thaharah merupakan suatu syarat untuk mensucikan diri dimana kita harus melakukannya sebelum kita melakukan ibadah tertentu.

Arti kata Ath-Thaharah secara bahasa adalah kesucian.

Secara definisi yang dibawakan oleh ulama-ulama fiqih itu sangat banyak, akan tetapi definisi yang ditulis didalam kitab Fathul Qarib al-Mujib adalah :

Suatu pekerjaan yang membolehkan kita untuk mengerjakan shalat maupun itu wudhu, mandi, tayamum, atau menghilangkan najis.

Dan keempat itu adalah maksud-maksud dari Ath-Thaharah, adapun beberapa perantara untuk melakukan Ath-Thaharah ada empat yaitu : Air, debu, batu istinja, dan menyamak kulit.

Disebutkan di dalam kitab Fathul Qarib al-Mujib :

Bahwasanya air yang bisa digunakan untuk bersuci adalah Air Hujan, Air Laut, Air Sungai, Air Sumur, Mata Air, Air dari Salju, Air dari Hujan Es.

Dan dikatakan dalam kitab Hasyiah al-Bayjuri tingkatan air dari yang paling afdal dengan syair yaitu:

وأفضل المياه ماء قد نبع # من بين أصابع النبي المتبع يليه ماء زمزم فالكوثر # فنيل مصر ثم باقي الأنهر

Air yang paling afdal adalah air yang keluar dari sela-sela jarinya Nabi ﷺ, kemudian air yang paling utama setelah air yang dikeluarkan oleh Nabi ﷺ adalah air zamzam kemudian setelah air zamzam adalah air al-Kautsar kemudian adalah air sungai Nil yang ada di Mesir dan sisanya adalah air-air sungai yang lainnya.

Jenis-jenis Air

Adapun Air Terbagi Menjadi 4 Yaitu :

  1. Air suci yang bisa dipakai untuk bersuci dan tidak makruh hukumnya ketika dipakai yaitu adalah air mutlak. Air mutlak adalah air yang tidak terkontaminasi dengan zat lain, seperti kopi, teh, susu, atau yang lainnya yang bisa mengubah rasa dan kemurnian air tersebut.
  2. Air suci yang bisa dipakai untuk bersuci tetapi makruh hukumnya ketika dipakai untuk anggota tubuh (tidak makruh ketika untuk pakaian) yaitu seperti air al-Musyamash; Air al-Musyamash adalah air yang terkena panas1 matahari secara langsung dan wadah air tersebut terbuat dari logam (selain logam dari emas dan perak). Karena air tersebut dapat menyebabkan penyakit kusta menurut para dokter, dan juga sebagaimana beberapa hadits yang mengatakan air tersebut makruh untuk dipakai.
  3. Air suci yang tidak bisa untuk mensucikan seperti Air Musta’mal yaitu air sudah dipakai untuk mengangkat hadats atau najis. Air Musta’mal tetap suci apabila setelah dipakai, air tersebut tidak berubah bau, warna, dan rasanya. Dan juga tidak bertambah kadar air tersebut setelah dipakai. Dan juga termasuk air suci yang tidak bisa untuk mensucikan adalah air yang tercampur dengan sesuatu yang suci seperti air mawar, teh, kopi, dan yang lainnya.
  4. Air yang Najis.

Air Najis terbagi menjadi dua yaitu:

  • Air yang sedikit yaitu air kurang dari 2 kulah, apabila air tersebut kejatuhan sesuatu yang najis maka air tersebut menjadi najis semua walaupun air tersebut tidak berubah sama sekali.

Dan ada beberapa pengecualian untuk air yang sedikit :

  1. Apabila air tersebut kejatuhan bangkai dan bangkai tersebut apabila dibuka anggota tubuhnya tidak ada darah yang mengalir seperti lalat, semut, kutu, lebah dan lainnya, maka air tersebut tidak najis kecuali apabila berubah bau, warna, dan rasanya.
  2. Dan juga apabila air tersebut kejatuhan najis yang tidak terlihat oleh mata seperti air cipratan saat buang air kecil.
  • Air yang banyak yaitu air yang lebih dari 2 kulah dan definisi 2 kulah yaitu adalah 500 ritel Baghdadi dalam pendapat yang kuat, atau sama dengan 270 liter.

Air yang banyak bila terkena najis tidak menjadi najis bila ia tetap pada kemutlakannya, tidak ada sifat yang berubah. Adapun bila karena terkena najis ada satu atau lebih sifatnya yang berubah, maka air banyak tersebut menjadi air najis.

Mengapa dikatakan air yang banyak itu 2 kulah, karena ada hadits Rasulullah saw dalam kitab Musnad Imam Syafi’i yaitu:

ﺇﺫا ﻛﺎﻥ اﻟﻤﺎء ﻗﻠﺘﻴﻦ ﻟﻢ ﻳﺤﻤﻞ ﻧﺠﺴﺎ ﺃﻭ ﺧﺒﺜﺎ

Jika air mencapai 2 kulah maka air tersebut tidak terpengaruh oleh najis atau kotoran.

Ukuran Air Dua Kulah

Adapun ukuran dua kulah di dalam Kitab Manahilul ‘Irfan adalah :

  • Apabila bentuknya kotak maka ukuran nya adalah : panjang 1¼ hasta, lebar 1¼ hasta, dan dalam 1¼ hasta.
  • Apabila bentuknya lingkaran seperti sumur maka ukurannya adalah : dalamnya 2½ hasta dan lebarnya 1 hasta.
  • Apabila bentuknya segitiga maka ukurannya adalah : panjang dan lebar 1½ hasta dan dalamnya 2 hasta.

Keterangan :

Hasta : 1 (satu) hasta secara umum kurang lebih 45 cm

  1. Syarat dari panas matahari tersebut adalah
    seperti panasnya matahari di negara Yaman
    dan Hijaz ketika musim panas. ↩︎

Referensi Kitab

al-Bayjuri, S. I. (2007). Hasyiah al-Bayjuri Ala’ Ibn Qosim. Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyah.

al-Ghazy, S. M. (2002). Fat Hul Qarib Al-Mujib. Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyah.