Posted on Leave a comment

Bahaya Ghibah: Kebiasaan Buruk yang Menghapus Pahala Kebaikan Kita

Ghibah atau menggunjing adalah salah satu penyakit hati yang paling mudah dilakukan, namun paling berat dampaknya. Ia mengalir lewat kata-kata yang tampak sepele, tetapi mencederai kehormatan sesama dan menggelapkan hati pelakunya.

Dalam Risalah Qusyairiyah (Cet. Dar Al-Kutub al-Islamiyah: Jakarta, hal. 198), Imam Al-Qusyairi memberikan perhatian besar kepada bahaya ghibah, bahkan mengumpulkan kisah para sufi yang menunjukkan betapa hati-hatinya mereka dalam menjaga lisan.

Al-Qur’an memberikan peringatan terkait larangan berghibah:

﴾ ۚوَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ﴿

Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentulah kalian jijik.(QS. Al-Hujurat: 12)

Ayat ini menunjukkan bahwa ghibah bukan hanya dosa sosial, tetapi tindakan menjijikkan yang tidak layak dilakukan oleh orang beriman. Jika tubuh kita jijik memakan bangkai, maka hati kita seharusnya lebih jijik melakukan ghibah.

Dalam kitab Shahih Muslim (Maktabah Turoth, hal. 2001), Rasulullah ﷺ pun menjelaskan hakikat ghibah dengan tegas:

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ.  قَالَ:  ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

Artinya : Tahukah kalian apa itu ghibah? Para sahabat menjawab, Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Beliau bersabda, Engkau menyebut tentang saudaramu sesuatu yang ia benci.

Ketika para sahabat bertanya, Bagaimana jika apa yang aku katakan itu benar? Nabi menjawab:

  إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ    

Artinya : Jika benar apa yang engkau katakan, engkau telah mengumpatnya. Jika tidak benar, engkau telah memfitnahnya. (HR. Muslim)

Di dalam Risalah Qusyairiyah, Imam Al-Qusyairi menyebutkan sebuah riwayat yang amat menakutkan. Pada hari kiamat, seorang hamba didatangkan dengan catatan amalnya. Namun ia tidak menemukan pahala salat, puasa, atau amal kebaikannya. Ia pun berkata, Di mana amal-amalku? Maka dikatakan kepadanya: Semua amalmu hilang karena engkau gemar menggunjing manusia.

Bagi kaum sufi, ghibah adalah tanda ketidakmurnian hati. Seorang salik yang masih sibuk melihat kekurangan orang lain sejatinya belum melihat kekurangan dirinya sendiri. Ghibah juga lahir dari kesombongan tersembunyi—keinginan untuk terlihat lebih baik dengan cara menjatuhkan kehormatan orang lain. Karena itu, perjalanan tasawuf mengajarkan bahwa menjaga lisan adalah menjaga hati; dan menjaga hati adalah menjaga hubungan dengan Allah.

Imam Muslim ibn Hajjaj dalam Shahih Muslim menulis bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

 مَنْ سَتَرَ عَلَى مُسْلِمٍ سَتَرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

Barangsiapa menutupi aib seorang Muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. (HR. Muslim)

Hadis ini seakan menjadi penawar bagi penyakit ghibah: jika ghibah menghapus amal, maka menutupi aib orang lain mengundang penjagaan Allah atas diri kita sendiri.

Dalam riwayat lain pada bagian yang sama disebutkan:

مَنْ اغْتِيبَ غَفَرَ اللهُ نِصْفَ ذُنُوبِهِ

Barangsiapa digunjing, Allah mengampuni separuh dosa-dosanya.

Dalam riwayat  lain, ketika seseorang berkata kepada Hasan al-Bashri, “Si Fulan telah menggunjing Anda,” beliau pun mengirimkan kue kepada orang yang menggunjingnya, sambil menitipkan pesan, “Aku mendengar bahwa engkau telah menghadiahkan amal kebaikanmu kepadaku, maka aku ingin membalas kebaikanmu.”

Yahya bin Mu‘adz berkata, “Berikanlah kepada sesama Muslim tiga bentuk keuntungan ini: Jika engkau tidak mampu membantunya, maka jangan mengganggunya. Jika engkau tidak mampu membuatnya gembira, maka jangan membuatnya bersedih. Dan jika engkau tidak mampu memujinya, maka janganlah engkau mencari-cari kesalahannya.”

Dengan demikian, bab ghibah dalam Risalah Qusyairiyah bukan sekadar himbauan agar tidak mengumpat, tetapi tuntunan menyeluruh untuk membersihkan ruhani. Ketika seseorang menjaga lisannya, ia menjaga martabat dirinya, menjaga kehormatan sesama, dan menjaga kedekatannya dengan Allah.

Melalui kisah-kisah para sufi ini, kita belajar bahwa perjalanan menuju Allah adalah perjalanan menundukkan hawa nafsu dan menyucikan hati, dimulai dari mengawasi satu anggota tubuh yang paling kecil namun paling berbahaya: lisan.

Referensi

Karim, A.(2010). Al-Risalah al-Qusyairiyah. Jakarta: Dar Al Kutub Islamiyah hal. 198

Muslim, I. Shahih al-Mulim (CD: Maktabah Turoth). Hal. 2001.

Penulis: Alfin Haidar Ali

Posted on Leave a comment

Syarat-Syarat Shalat Menurut Ulama Syafi’iyah

Shalat merupakan ibadah yang paling utama dalam Islam setelah syahadat. Ia menjadi tiang agama, dan tidak sah Islam seseorang tanpa menegakkan shalat. Karena begitu pentingnya shalat, para ulama menjelaskan bahwa ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi sebelum seseorang mendirikannya. Syarat ini harus terpenuhi terlebih dahulu, karena tanpa itu shalat menjadi tidak sah meskipun dikerjakan dengan penuh khusyuk.

Dalam kitab Sullamul Munajah karya Syekh Nawawi al-Bantani serta Safinatus Sholah karya Sayyid Abdullah bin Umar bin Yahya, disebutkan bahwa syarat shalat berjumlah dua belas. Berikut penjelasan masing-masing syarat tersebut:

1. Suci dari Najis pada Pakaian, Badan, dan Tempat

Seseorang yang hendak shalat wajib memastikan bahwa pakaian yang dikenakan, tubuhnya, serta tempat yang digunakan untuk shalat terbebas dari najis. Najis yang dimaksud misalnya kencing, kotoran, darah, muntah, bangkai, anjing, babi, serta turunannya. Jika terkena, wajib disucikan hingga hilang bau, warna, dan rasanya. Bahkan khusus najis anjing dan babi, harus dicuci tujuh kali, salah satunya dengan tanah yang suci.

2. Bersuci dengan Wudhu atau Mandi Wajib

Syarat berikutnya adalah suci dari hadas kecil maupun besar. Hadas kecil disucikan dengan wudhu, sedangkan hadas besar disucikan dengan mandi junub. Rukun wudhu mencakup enam hal, yaitu niat, membasuh wajah, membasuh kedua tangan hingga siku, mengusap sebagian kepala, membasuh kedua kaki sampai mata kaki, dan berurutan. Sedangkan mandi wajib dilakukan dengan niat serta meratakan air ke seluruh tubuh, termasuk bagian-bagian tersembunyi.

3. Masuk Waktu Shalat

Shalat hanya sah apabila dilakukan pada waktunya. Lima waktu shalat telah ditentukan: Zuhur dimulai saat matahari tergelincir, Asar ketika bayangan benda sama panjang dengan bendanya, Magrib ketika matahari terbenam, Isya saat hilangnya mega merah, dan Subuh ketika fajar shadiq muncul. Melakukan shalat di luar waktunya tanpa uzur syar’i adalah dosa besar.

4. Menutup Aurat

Aurat laki-laki dalam shalat adalah bagian antara pusar hingga lutut, sedangkan aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Penutup aurat harus menutupi warna kulit dan bersifat layak sebagai pakaian. Menutup aurat ini tidak hanya syarat sah shalat, melainkan juga bagian dari adab kesopanan dalam beribadah.

5. Menghadap Kiblat

Orang yang shalat wajib menghadap kiblat, yaitu Ka’bah di Masjidil Haram. Bagi orang yang tidak melihat Ka’bah secara langsung, cukup menghadap arahnya. Pengecualian diberikan bagi orang yang shalat dalam keadaan takut atau tidak memungkinkan, misalnya di medan perang atau perjalanan darurat.

6. Beragama Islam

Syarat sah shalat berikutnya adalah orang yang shalat haruslah seorang muslim. Shalat orang kafir tidak sah dan tidak diterima.

7. Berakal

Shalat hanya diwajibkan bagi orang yang berakal. Karena itu, orang gila dan anak kecil yang belum mumayyiz tidak dibebani kewajiban shalat.

8. Suci dari Haid dan Nifas

Bagi perempuan, syarat sah shalat adalah suci dari haid dan nifas. Perempuan yang sedang dalam keadaan haid atau nifas haram mengerjakan shalat dan tidak wajib mengqadhanya, kecuali jika ia telah suci sebelum waktu shalat habis.

9. Meyakini Kewajiban Shalat

Orang yang shalat harus meyakini bahwa shalat fardu hukumnya wajib. Jika ada keraguan atau menganggapnya hanya sunnah, maka shalatnya tidak sah.

10. Tidak Menganggap Rukun Shalat sebagai Sunnah

Setiap rukun shalat, seperti berdiri, membaca Al-Fatihah, ruku’, sujud, dan lainnya, wajib diyakini sebagai rukun dalam shalat. Jika seseorang menganggap rukun itu hanya sunnah, maka shalatnya batal.

11. Menjauhi Pembatal Shalat

Selama shalat berlangsung, wajib menghindari segala hal yang membatalkannya, misalnya berbicara, makan, minum, banyak bergerak tanpa kebutuhan, atau menambah rukun dengan sengaja.

12. Mengetahui Tata Cara Shalat

Terakhir, orang yang shalat wajib mengetahui urutan perbuatan dalam shalat, mulai dari takbiratul ihram hingga salam. Tanpa pengetahuan ini, seseorang bisa salah dalam melaksanakan rukun dan syarat shalat.

Penutup

Dari penjelasan di atas, tampak jelas bahwa syarat-syarat shalat sangat erat kaitannya dengan kebersihan, kesucian, keyakinan, serta ilmu. Hal ini menegaskan bahwa shalat bukan sekadar gerakan fisik, melainkan ibadah yang menuntut kesadaran penuh, ilmu, dan kesiapan hati. Dengan memenuhi syarat-syarat tersebut, shalat kita akan sah dan diharapkan diterima di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Referensi

  • Nawawi, M. (2008). Sullamul Munajah. Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyah.

Posted on Leave a comment

Keutamaan dan Etika Bekerja dalam Islam

Bekerja merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Islam memandang pekerjaan bukan hanya sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga sebagai ibadah yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Pekerjaan yang dilakukan dengan niat yang benar dan cara yang halal memiliki nilai luhur dan menjadi jalan meraih ridha Allah serta keberkahan hidup di dunia dan akhirat.

Keutamaan Bekerja dalam Islam

Imam al-Ghazali dalam Mukhtasar Ihya’ al-Ulum al-din mengutip sejumlah hadis terkait keutamaan bekerja dalam Islam. Dalam sebuah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam beliau bersabda:

التَّاجِرُ الصَّدُوقُ يُحْشَرُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ الصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ

“Seorang pedagang yang jujur pada hari kiamat nanti akan dikumpulkan bersama para shiddiqin dan syuhada.” (HR. Tirmidzi)

Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa bekerja merupakan bagian dari ibadah yang mulia. Hadis ini menunjukkan bahwa kejujuran dan amanah dalam bekerja akan meninggikan derajat seorang Muslim hingga sejajar dengan golongan yang mulia di sisi Allah. Bahkan disebutkan pula dalam riwayat lain, “Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang mukmin yang bekerja dengan keterampilan tangannya.”

Selain itu, Islam mengajarkan agar umatnya tidak bergantung pada orang lain dengan meminta-minta. Nabi ﷺ menegaskan bahwa bekerja lebih utama dibandingkan meminta-minta, kecuali bagi mereka yang memang memiliki tanggung jawab khusus mengurus kemaslahatan umat.

Etika Bekerja dan Bermuamalah

Etika dalam bekerja sangat ditekankan dalam Islam. Hal ini mencakup sikap jujur, adil, serta menghindari segala bentuk penipuan. Allah Ta’ala memperingatkan keras bagi mereka yang curang dalam takaran dan timbangan:

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ۝١

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (dalam timbangan dan takaran).” (QS. Al-Muthaffifin: 1)

Kecurangan dalam perdagangan, seperti menyembunyikan cacat barang atau menimbun kebutuhan pokok untuk keuntungan sepihak, merupakan bentuk kezaliman yang diharamkan. Rasulullah ﷺ bahkan mendoakan kebaikan bagi orang yang mempermudah urusan jual beli:

رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً سهل البيع سهل الشراء سهل القضاء

“Semoga Allah merahmati seseorang yang mudah dalam menjual, mudah dalam membeli, dan mudah dalam menagih (utang).” (HR. Bukhari)

Dari doa ini jelas bahwa kemudahan, kejujuran, dan kelapangan dada dalam muamalah menjadi salah satu jalan meraih keberkahan.

Keseimbangan Dunia dan Akhirat

Islam tidak melarang umatnya untuk berdagang atau bekerja, tetapi pekerjaan tidak boleh melalaikan dari kewajiban ibadah kepada Allah. Al-Qur’an menegaskan:

رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ   ۝٣٧   

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah.” (QS. An-Nur: 37)

Ayat ini mengingatkan bahwa seorang Muslim harus menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat. Bekerja untuk mencari nafkah memang penting, namun jangan sampai melupakan shalat, zikir, dan kewajiban ibadah lainnya.

Penutup

Bekerja dalam Islam bukan hanya sekadar mencari rezeki, tetapi juga jalan menuju ridha Allah. Seorang Muslim yang bekerja dengan niat ikhlas, cara yang halal, serta menjunjung tinggi etika, akan mendapatkan pahala besar di sisi Allah. Dengan menjaga kejujuran, menghindari kezaliman, dan tetap menomorsatukan ibadah, maka pekerjaan menjadi sarana meraih keberkahan hidup.

Oleh karena itu, mari kita jadikan pekerjaan sehari-hari bukan hanya sebagai rutinitas, melainkan juga sebagai ibadah yang penuh dengan nilai spiritual. Dengan begitu, kita tidak hanya memperoleh manfaat dunia, tetapi juga tabungan pahala untuk kehidupan akhirat.

Referensi

Ghazali. A.A. (2004.). Mukhtasor Ihya’ Ulumiddin. Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyah.

Al-Quran al-Karim

Penulis : Alfin Haidar Ali

Posted on Leave a comment

Feodalisme di Pesantren? Meluruskan Stigma Lewat Kacamata Adab dan Khidmah

Pemandangan santri yang berjalan menunduk saat berpapasan dengan guru (kiai), mencium tangan dengan takzim, hingga bekerja bakti membangun atau membersihkan lingkungan pesantren seringkali memicu perdebatan di ruang publik. Bagi sebagian kalangan yang melihat dari luar, tradisi ini bisa disalahartikan sebagai bentuk feodalisme—sebuah sistem hierarkis yang menempatkan penguasa di puncak dan rakyat jelata sebagai pelayan tanpa pamrih. Tuduhan ini menyamakan kiai dengan seorang tuan tanah dan santri sebagai budak yang dieksploitasi.

Namun, apakah benar demikian? Apakah tradisi luhur yang telah mengakar ratusan tahun di pondok pesantren ini sesederhana label feodalisme? Untuk menjawabnya, kita perlu membongkar kesalahpahaman ini dengan memahami esensi dari adab (etika) dan khidmah (pengabdian) dalam tradisi keilmuan Islam.

Membedakan Feodalisme dan Kultur Pesantren

Mari kita definisikan apa itu feodalisme. Feodalisme adalah sistem sosial, ekonomi, dan politik yang dominan di Eropa abad pertengahan. Intinya adalah hubungan antara tuan (lord) dan bawahan (vassal) yang didasarkan pada kepemilikan tanah. Tuan tanah memberikan lahan kepada bawahannya sebagai imbalan atas layanan militer atau kerja paksa. Relasi ini bersifat eksploitatif dan didasarkan pada kekuasaan material.

Sekarang, mari kita bandingkan dengan apa yang terjadi di pondok pesantren. Relasi antara kiai dan santri tidak dibangun di atas kepemilikan tanah atau kekuasaan duniawi, melainkan di atas fondasi transmisi ilmu dan keberkahan.

Posisi guru dalam Islam begitu mulia, dalam kitab Jami’ al-Ahadits (Maktabah Turoth, hal. 391) Rasulullah ﷺ menegaskan dalam sebuah hadis:

أكْرِمُوا العُلَمَاءَ فإنَّهُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، فَمَنْ أكرَمَهُمْ فَقَدْ أَكْرَمَ الله وَرَسُولَهُ

Artinya: “Hendaklah kamu semua memuliakan para ulama (guru) karena mereka itu adalah pewaris para nabi. Maka, siapa memuliakan mereka, berarti memuliakan Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Al-Khatib Al-Baghdadi).

Hadis ini memberikan landasan teologis yang kokoh. Memuliakan guru bukanlah bentuk perbudakan, melainkan sebuah tindakan ibadah karena mereka adalah “pewaris para nabi”. Di pesantren, seorang santri diajarkan bahwa untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, ia harus memuliakan sumber ilmu tersebut. Ini bukan ketaatan buta, melainkan sebuah metode pendidikan spiritual. Santri meyakini bahwa guru adalah wasilah atau perantara yang menyambungkan sanad keilmuan mereka hingga kepada Rasulullah ﷺ.

Sumber: IslamiCo.webp

Lalu, bagaimana dengan aktivitas seperti membantu pembangunan (ngecor), membersihkan lingkungan, atau melayani kebutuhan guru?

Dalam tradisi pesantren, aktivitas ini disebut khidmah. Khidmah adalah bentuk pengabdian tulus seorang murid sebagai wujud terima kasih dan cara untuk mendapatkan ridha serta keberkahan dari gurunya. Para santri melakukannya secara sukarela dengan harapan ilmunya menjadi lebih berkah.

Bagaimana dengan gestur menunduk atau duduk bersimpuh di hadapan guru yang disebut-sebut seperti feodalisme di pesantren?

Sumber: Kitab SYARH TA’LIM AL MUTA’ALLIM, Hal 43,
Cetakan Dar Al Kutub Al Islamiyah

Syekh az-Zarnuji dalam kitab ta’limul muta’allim  (Cet. Dar Al-Kutub al-Islamiyah: Jakarta, hal. 43) menjelaskan bahwa ini adalah bagian dari adab memuliakan seorang guru. Beberapa adab yang ditekankan antara lain tidak berjalan di depan guru, tidak duduk di tempatnya, dan tidak memulai pembicaraan kecuali atas izinnya.

Puncak dari pemahaman ini terangkum dalam perkataan agung Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagaimana yang dinukil oleh Syekh az-Zarnuji dalam ta’limul muta’allim  (Cet. Dar Al-Kutub al-Islamiyah: Jakarta, hal. 41) sebagaimana berikut:

انا عبد من علمني ولو حرفا واحدا إن شاء، إن شاء باع، إن شاء أعتق، إن شاء استرق

“Aku adalah budak bagi orang yang mengajarkan ilmu kepadaku, meskipun hanya satu huruf. Kalau mau, dia bisa menjual. Kalau mau, dia bisa membebaskan. Kalau mau, dia bisa memperbudak.”

Ungkapan ini bukanlah pengakuan perbudakan harfiah, melainkan metafora puncak kerendahan hati seorang murid.

Pesantren: Benteng Pendidikan Karakter Bangsa

Sumber: rbg.id

Jika kultur adab dan khidmah ini disalahpahami sebagai feodalisme, maka sebagian masyarakat yang menilai pandangan tersebut, belum memahami adab dan khidmah yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ sebagaimana hadis di atas. Pondok pesantren bukan sekadar tempat mentransfer pengetahuan, tetapi juga tempat untuk menempa adab dan karakter. Di saat banyak lembaga pendidikan modern hanya fokus pada kecerdasan intelektual, pesantren tetap teguh mempertahankan prinsip bahwa adab lebih tinggi daripada ilmu.

Seorang santri tidak hanya diajarkan cara membaca kitab, tetapi juga cara memuliakan kitab itu sendiri, seperti tidak memegangnya kecuali dalam keadaan suci atau tidak meletakkan benda lain di atasnya. Mereka belajar memuliakan teman seperjuangan dan menyerahkan pilihan cabang ilmu yang harus dipelajari kepada guru yang lebih berpengalaman. Para santri di masa lalu berhasil meraih tujuannya karena mereka menyerahkan urusan pendidikannya kepada guru, tidak seperti pelajar masa kini yang seringkali memilih sendiri sehingga tidak mencapai tujuannya.

Inilah kekayaan pendidikan pesantren yang sering luput dari perhatian. Pesantren mendidik santri untuk menjadi pribadi yang tahu cara berterima kasih, menghormati orang yang lebih tua dan berilmu, serta memiliki kerendahan hati. Kualitas-kualitas inilah yang semakin langka di tengah masyarakat modern yang cenderung individualistis dan pragmatis.

Oleh karena itu, melabeli tradisi luhur ini sebagai “feodalisme” adalah sebuah penyederhanaan yang berbahaya. Apa yang terlihat seperti penindasan dari luar sesungguhnya adalah metode pendidikan jiwa yang mendalam. Itu bukanlah feodalisme, melainkan sebuah ekosistem spiritual di mana ilmu, adab, dan keberkahan menyatu untuk membentuk manusia yang utuh—berilmu sekaligus berakhlak mulia.

Referensi

Suyuthi, I.J. Jami’ al-Ahadits (CD: Maktabah Turoth). Hal. 391

Zarnuji, S.(2007). Ta’limul Muta’allim. Jakarta: Dar Al Kutub Islamiyah hal. 41

Penulis: Alfin Haidar Ali

Posted on Leave a comment

Memahami Hadis Nabi, Cinta Dunia Pangkal Segala Kesalahan

Rasulullah ﷺ memberikan nasihat yang amat penting bagi umatnya tentang bahaya cinta dunia. Dalam sebuah hadis beliau bersabda:

حب الدنيا راس كل خطيئة  

“Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan.”

Hadis ini memberi peringatan serius bahwa kecintaan yang berlebihan terhadap dunia merupakan sumber dari berbagai dosa dan kesalahan. Dunia yang seharusnya menjadi sarana menuju akhirat seringkali berubah menjadi tujuan utama yang menjerat manusia dalam berbagai fitnah.

Bahaya Cinta Dunia

Dalam Risalah Mudzakirah karya al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dijelaskan bahwa cinta dunia adalah sumber segala bencana dan pangkal segala kehancuran. Bahayanya telah merata di berbagai kalangan, baik dari golongan atas maupun bawah. Manusia berlomba-lomba memamerkan kekayaan tanpa rasa malu, seakan-akan dunia menjadi tujuan utama yang wajib dimakmurkan, bahkan lebih utama daripada kewajiban shalat dan puasa.

Akibat cinta dunia yang berlebihan, cahaya agama menjadi redup, keyakinan melemah, dan kebenaran semakin sulit ditegakkan. Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa setiap umat memiliki fitnah, dan fitnah umat ini adalah harta:

لكل أمة فتنة وفتنة أمتي المال , ولكل أمة عجل وعجل أمتي الدينار والدرهام

“Setiap umat memiliki fitnah (ujian/cobaan), dan fitnah bagi umatku adalah harta. Dan setiap umat memiliki ‘anak sapi’ (yakni berhala yang disembah, sebagaimana Bani Israil), dan ‘anak sapi’ bagi umatku adalah dinar dan dirham (yakni uang/harta).

Hadis ini menegaskan bahwa sebagaimana Bani Israil tersibukkan dengan menyembah patung anak sapi, umat Nabi Muhammad ﷺ juga dapat tersibukkan oleh harta sehingga lalai beribadah kepada Allah ﷻ

Tingkatan Dunia

Al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad membagi dunia ke dalam tiga tingkatan:

  1. Dunia yang mengandung pahala        
    Yaitu dunia yang digunakan untuk ketaatan kepada Allah ﷻ. Makanan, harta, pakaian, maupun fasilitas hidup yang dipakai untuk mendukung ibadah, membantu orang miskin, atau menunaikan kewajiban akan bernilai pahala. Dunia seperti ini menjadi kendaraan menuju akhirat.
  2. Dunia yang mengandung hisab           
    Yaitu dunia yang mubah, yang tidak menyibukkan dari ibadah dan tidak pula digunakan untuk maksiat. Meski tidak berdosa, tetap akan dimintai pertanggungjawaban kelak. Orang yang larut dalam mencari dunia semacam ini akan menghadapi hisab yang panjang, bahkan para orang kaya akan tertahan lebih lama di akhirat sebelum memasuki surga.
  3. Dunia yang mengandung azab            
    Yaitu dunia yang menghalangi dari ketaatan dan menjerumuskan pada kemaksiatan. Harta haram, jabatan yang diperoleh dengan cara curang, serta kesenangan yang melalaikan akan menjadi sebab siksaan. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika dunia dimasukkan ke dalam neraka, para pecintanya pun ikut digiring bersamanya.

Sikap Seorang Mukmin

Al-Habib Abdullah mengingatkan bahwa para pencari dunia memiliki beragam niat. Ada yang mencarinya untuk membantu orang lain, ini tergolong baik, meski tetap ada risiko kelalaian. Ada pula yang mengejar dunia hanya untuk syahwat, bersenang-senang, atau berbangga-bangga, maka mereka termasuk golongan yang tertipu bahkan celaka.

Allah ﷻ menegaskan dalam Al-Qur’an:

ألا ذلك هو الخسران المبين 

“Ingatlah, yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Az-Zumar: 15)

Karena itu, seorang muslim hendaknya berhati-hati agar tidak tertipu oleh dunia. Dunia hanyalah ladang untuk menanam amal, bukan tujuan akhir. Allah ﷻ berfirman:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia.” (QS. Al-Qashash: 77)

Penutup

Hadis Rasulullah Rasulullah ﷺ yang berbunyi  “حب الدنيا راس كل خطيئة mengandung pelajaran berharga bahwa cinta dunia adalah pangkal segala dosa. Dunia hanya sarana, bukan tujuan. Jika digunakan untuk ketaatan, ia menjadi pahala. Jika berlebihan, ia menjadi hisab. Jika disalahgunakan, ia akan berbuah azab.

Oleh sebab itu, seorang mukmin yang cerdas akan menempatkan dunia sesuai porsinya: secukupnya untuk kebutuhan, selebihnya untuk bekal akhirat. Dengan begitu, ia selamat dari tipuan dunia dan beruntung dalam kehidupan abadi di akhirat.

Referensi

Alwi, A. (2020). Risalatul Mua’awanh wa yalihi Risalatul Mudzakirah. Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyah.

Al-Quran al-Karim

Penulis: Alfin Haidar Ali

Posted on Leave a comment

Haul Solo: Jejak Cinta Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi dari Hadramaut ke Nusantara

Bulan Oktober ini, akan kembali digelar Haul al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, pengarang Maulid Simtud Durar yang kita kenal dengan sebutan Maulid Habsyi pada 11-13 Oktober 2025. Walaupun al-Habib Ali tidak dimakamkan di Solo—beliau wafat dan dimakamkan di Hadramaut, Yaman—namun putranya, al-Habib Alwi bin Ali al-Habsyi, hijrah ke Jawa dan bermukim di Solo. Habib Alwi inilah yang dimakamkan di Masjid Riyadh, Solo, bersama anaknya, al-Habib Muhammad, dan saudaranya, Habib Ahmad.

Haul bukanlah dibuat oleh seorang ulama untuk dirinya sendiri. Tradisi ini dimulai oleh Habib Alwi bin Ali al-Habsyi sebagai bentuk penghormatan dan doa untuk ayahandanya, Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi. Karena banyak murid Habib Ali yang tinggal di Jawa, Habib Alwi mengumpulkan mereka setahun sekali untuk mendoakan sang ayah, sekaligus mengenang perjalanan hidup beliau. Dari sinilah cikal-bakal Haul Solo dimulai.

Pada masa awal, haul tidak seramai sekarang. Hanya dihadiri sekitar 20–30 orang, tetapi mereka adalah para ulama besar dan wali-wali terkenal, seperti Habib Salim bin Jindan (kakek Habib Jindan Jakarta), serta para habaib dan kiai terkemuka lainnya.

Pada perkembangan selanjutnya, jamaah yang hadir banyak berasal dari Jawa Timur, khususnya Pasuruan. Tokoh penting di balik tersebarnya kabar haul adalah Kiai Hamid Pasuruan. Beliau bahkan datang bersama rombongan, termasuk mertuanya, Kiai Ahmad Kusyairi, beserta para murid-muridnya.

Karena banyak jamaah Pasuruan yang berbahasa Madura, maka pada awal haul, ceramah-ceramah pernah disampaikan dengan bahasa Madura agar lebih mudah dipahami. Dari sinilah haul Solo makin dikenal luas. Bahkan, ada saksi hidup menyebutkan bahwa rombongan dari Pasuruan juga yang pertama kali membawa sound system ke acara haul di Solo.

Seiring waktu, jamaah datang tidak hanya dari Jawa Timur, tetapi juga dari Jakarta, Kalimantan, dan berbagai daerah lainnya. Maka ceramah pun mulai menggunakan bahasa Indonesia agar dapat dipahami lebih luas.

Nasab dan Guru-guru Habib Ali

Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi memiliki nasab yang bersambung langsung kepada Rasulullah ﷺ melalui jalur Imam Husain bin Ali. Beliau dilahirkan pada hari Jumat, 24 Syawal 1259 H, di Desa Qasam, Hadramaut.

Dalam menuntut ilmu, beliau belajar dari banyak ulama besar, di antaranya:

  • Ayahandanya sendiri, al-Habib Muhammad bin Husain al-Habsyi,
  • Al-Habib Idrus bin Umar,
  • Al-Habib Hasan bin Shalih al-Bahr,
  • Al-Habib Abdullah bin Husain bin Thahir
  • Al-Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Attas
  • Al-Habib Muhsin bin Alawi Assegaf
  • Al-Habib Abdurrahman bin Ali bin Umar bin Seggaf, dan masih banyak guru lainnya.

Dari merekalah Habib Ali menyerap lautan ilmu, hingga dikenal sebagai imam besar pada zamannya. Akan tetapi ada dua guru di mana Habib Ali banyak menyerap ilmu kepadanaya, yakni ayahandanya sendiri, al-Habib Muhammah bin Husain al-Habsyi dan al-Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Attas

Karya Agung: Simtud Durar

Habib Ali menyusun sebuah kitab maulid berjudul Simtud Durar, yang berarti “untaian mutiara.” Setiap kalimatnya bagaikan permata yang penuh barakah. Beliau sendiri menyebut maulid ini sebagai hadiah dari Allah untuk umat Islam di akhir zaman untuk menambal kekurangan-kekurangan amal mereka, yang ibadahnya tidak bisa menyamai generasi terdahulu.

Membaca Simtud Durar dengan ikhlas diyakini akan membuka limpahan karunia Allah, karena di dalamnya terkandung doa, zikir, dan ungkapan cinta kepada Rasulullah ﷺ. Karenanya, umat Islam dianjurkan untuk membacanya di rumah-rumah, meski hanya bersama lima orang sekalipun. Mari sebarkan maulid ini, di manapun kita berada.

Habib Ali berwasiat dalam kasidahnya:

“Kalau boleh saya sampaikan isi hati saya, Demi Allah, cinta kepada Rasulullah itu meresap dalam hatiku dan itu ketika aku dalam masa kanak-kanak kecil”. Artinya, al-Habib Ali ketika masih kanak-kanak sudah dididik cinta oleh orang tuanya kepada baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Habib Ali juga dikenal memiliki kecintaan yang mendalam kepada Rasulullah ﷺ. Dalam karya-karyanya, beliau tidak pernah menyebut Nabi dengan nama biasa, melainkan selalu dengan sebutan “Kekasihku Muhammad”. Begitu terpancar kecintaan Habib Ali kepada baginda Nabi Muhammad Shallalhu alaihi wa Sallam.

Selain itu, apa ajaran yang diajarkan oleh Habib Ali? Apakah untuk mencari kedudukan, menjadi orang terkaya di muka bumi ?. Tidak, tapi beliau berwasiat :

“Teruslah untuk takwa kepada Allah dan takwa kepada Allah jadikan sebagai bekal, karena sebaik-baik bekal adalah takwa kepada Allah.”

Hal ini senada dengan surat al-Baqarah ayat 197 :

وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ ۚ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ

Artinya : Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.

Majelis sebagai Telaga Kehidupan

Habib Ali mengibaratkan majelis haul dan maulid sebagai telaga dari Allah subhanahu wa ta’ala yang menghidupkan hati dan jiwa manusia bagi orang yang masuk dan meminum darinya. Semua orang yang hadir akan “minum” dari telaga itu—ada yang hanya seteguk, segelas, bahkan ada yang sampai sepuas-puasnya. Sebagaimana dulu sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika dalam perjalanan bersama Nabi Muhammad, hingga dalam perjalanan tersebut kehabisan air. Mereka datang kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, kita kehabisan air.”

“Kalian punya air? air apa yang kalian punya?”

Akhirnya para sahabat mengumpulkan air dan terkumpullah air semangkuk kecil. Di bawa kehadapan Nabi Muhammad Shallalahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau bersabda, “Ada lagi tidak ?”

“Tidak ada, kecuali apa yang di hadapanmu Rasulullah”.

Maka Nabi memasukkan tangan suci beliau di mangkuk kecil tersebut. Mangkuk kecil itu sampai Rasulullah hendak melebarkan tangannya, itu tidak bisa lebar karena kecilnya mangkuk tersebut.

Ketika Rasulullah melebarkan tangannya, air memancar dari sela-sela tangan beliau, hingga air itu meluber tidak ada hentinya. Ditampung oleh para sahabat, mereka kumpulkan wadah untuk menampung air tersebut. Untuk wudhu, masak, mandi, minum sebanyak-banyaknya. Ada salah seorang sahabat mengatakan, “Kalau saya, yang saya perbanyak dari peristiwa tersebut Adalah saya meminum air tersebut sebanyak-banyaknya. Sebab air ini bersumber dari sela-sela jari Nabi Muhammad Shallalahu ‘alaihi wa Sallam.

Dan dikatakan dalam kitab Hasyiah al-Bayjuri tingkatan air dari yang paling afdal dengan syair yaitu:

وأفضل المياه ماء قد نبع # من بين أصابع النبي المتبع

Sebaik-baik air Adalah air yang memancar dari sela-sela jari Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam.

Orang yang hadir haul itu seperti orang yang berada di telaga dan minum air tersebut. Diantara orang-orang itu ada orang yang minum dengan sepuas-puasnya.

 Tanda orang yang benar-benar “minum sepuasnya” adalah akhlaknya semakin mulia, lisannya penuh kebaikan, pikirannya semakin baik, pandangannya penuh kasih sayang, dan hatinya bersih dari dengki dan kebencian. Ini adalah tanda sukses orang yang haul seperti itu.

Penutup

Haul Solo yang dahulu hanya dihadiri puluhan ulama besar, kini menjelma menjadi lautan manusia yang memadati Kota Surakarta setiap tahun. Dari kisah ini kita belajar, bahwa barakah ketulusan, cinta kepada ulama, dan kecintaan mendalam kepada Rasulullah ﷺ akan selalu dikenang, disebarkan, dan menjadi sumber kebaikan yang tidak terputus.

Referensi

al-Bayjuri, S. I. (2007). Hasyiah al-Bayjuri Ala’ Ibn Qosim. Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyah.

Al-Quran al-Karim

(Youtube) 7 Hal Tentang HAUL SOLO yang Perlu diketahui❗️ | Nabawi TV / https://www.youtube.com/watch?v=a8VK9FJfx6s

Penulis: Alfin Haidar Ali

Posted on Leave a comment

Haul Solo ke-114 Tahun 2025, Begini Fakta Unik yang Jarang Diketahui Khalayak

Haul Solo adalah peringatan haul al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein al-Habsyi, seorang ulama besar yang makamnya berada jauh dari Kota Solo, yakni di Kota Seiyun, Yaman. Meski demikian, magnet spiritual beliau mampu menarik ratusan ribu jamaah setiap tahun untuk menghadiri haul tersebut.

Sejarah Penyelenggaraan Haul Solo

Awal mula penyelenggaraan Haul Solo berangkat dari kedatangan putra sohibul haul, al-Habib Alwi bin Ali al-Habsyi, ke tanah Jawa. Sebelum kedatangan beliau, sudah banyak murid al-Habib Ali yang menetap di Indonesia, seperti al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (Surabaya), al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf (Gresik), dan al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Kwitang, Jakarta), dan lainnya.

Melihat banyak murid ayahnya di Indonesia, para ulama mendesak Habib Alwi agar mengadakan haul untuk mengenang sang ayah. Haul pertama digelar di kediaman beliau, di samping Masjid Riyadh, Solo. Saat itu, yang hadir hanya segelintir murid Habib Ali, namun mereka adalah ulama besar zamannya: Habib Abu Bakar Assegaf (Gresik), Habib Ali Bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang), Habib Alwi al-Haddad (Empang, Bogor), Habib Jafar bin Syaikhon Assegaf, Habib Salim bin Jindan, dan lainnya. Dari pertemuan kecil itu, haul kemudian berkembang menjadi acara akbar yang dihadiri jamaah dari berbagai penjuru.

Peran Kiai Hamid Pasuruan

Salah satu tokoh yang berperan besar dalam meluasnya Haul Solo adalah Kiai Abdul Hamid bin Abdullah bin Umar dari Pasuruan, murid al-Habib Jafar bin Syaikhon Assegaf. Melalui Kiai Hamid, kabar haul tersebar luas di kalangan masyarakat Pasuruan dan sekitarnya. HIngga ramai jemaah yang hadir di kala itu mayoritas merupakan warga Pasuruan dan sekitarnya. Dikarenakan wilayah Pasuruan dan sekitarnya merupakan kawasan tapal kuda yang mayoritas penduduknya berbahasa Madura, hingga pada akhirnya ceramah di acara Haul Habib Ali al-Habsyi menggunakan bahasa Madura karena mayoritas yang hadir kala itu kebanyakan penduduk kota Pasuruan.

Masjid Riyadh Solo
Sumber: Radar Solo, Jawa Pos

Mengapa Disebut Haul Solo?

Nama “Haul Solo” muncul karena acara ini diselenggarakan di Kota Solo. Dengan jamaah yang datang dari berbagai daerah, penyebutan “Haul Solo” lebih mudah diingat dibanding nama panjang haul al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi.

Seiring berjalannya waktu, haul ini berkembang pesat. Ribuan hingga ratusan ribu jamaah memadati kawasan Pasar Kliwon, khususnya sepanjang Jalan Kapten Mulyadi, setiap tahunnya. Antusiasme ini membuat Pemerintah Kota Surakarta menetapkan Haul Solo sebagai agenda tahunan kota.

Tidak hanya pemerintah kota, Keraton Kasunanan Surakarta juga turut mendukung penuh dengan menyediakan tempat istirahat bagi jamaah luar kota. Bahkan, perputaran ekonomi Solo selama haul ini mencapai miliaran rupiah hanya dalam waktu dua hari, menjadikannya salah satu momen ekonomi terbesar di kota tersebut.

Karena ketulusan para murid-murid Habib Ali di Indonesia dan Habib Alwi Al-Habsyi, acara yang dahulunya hanya dihadiri puluhan orang bagai ombak besar menerjang. Sekarang lautan manusia setiap tahunnya memenuhi Kota Surakarta untuk menghadiri Haul Solo.

Haul Solo 2025

Haul ke-114 al-Imam al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi akan diselenggarakan pada 9–13 Oktober 2025.

  • 9–11 Oktober: Rauhah setiap ba’da ashar.
  • 12 Oktober: Acara puncak Haul pukul 09.00 WIB.
  • 13 Oktober: Penutupan dengan Maulid. DIlaksanakan ba’da subuh.

Rencananya, acara ini akan dihadiri oleh al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz, dan dapat disaksikan secara langsung melalui YouTube Official Chanel Masjid Riyadh Solo, Nabawi TV, al-Wafa TV.

Sumber

Akun Instagram Majelis Yogyakarta (https://www.instagram.com/majelisyogyakarta)

Penulis : Alfin Haidar Ali

Posted on Leave a comment

Merayakan Maulid Nabi: Bid’ah Hasanah atau Sesat? Ini Pandangan Ulama

Bulan Rabiul Awal 1447 H jatuh pada Ahad malam Senin (24/08/2025), karena kalender Hijriah berganti saat Maghrib. Sehingga, 1 Rabiul Awal secara resmi jatuh pada hari Senin (25/08/2025). Bulan ini juga dikenal sebagai bulan Maulid, yang berarti bulan kelahiran. Ini merujuk pada pendapat mayoritas ahli sejarah yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW lahir di bulan ini. Lantas, bagaimana sebenarnya hukum merayakan maulid Nabi dalam Islam? Apakah termasuk ibadah yang dianjurkan atau justru dilarang?

Apa Itu Maulid Nabi?

Maulid Nabi dapat didefinisikan sebagai peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan berbagai bentuk kebaikan seperti membaca sejarah hidup beliau(siroh), bersholawat, mendengarkan tausiyah, bersedekah, dan lainnya. Tujuannya adalah untuk mengenal, meneladani, serta mengungkapkan kebahagiaan atas kelahiran manusia paling mulia, Rasulullah SAW.

Topik ini telah banyak dibahas ulama dalam berbagai kitab, mulai dari sejarah, dalil kebolehan, pendapat ulama, hingga larangan mencampuradukkan acara maulid dengan kemungkaran.

Siapa yang Pertama Kali Merayakan Maulid?

Jika menilik sejarah,format perayaan maulid dengan rangkaian agenda khusus seperti pembacaan qasidah dan siroh dalam satu majelis memang tidak ditemukan pada zaman Nabi. Namun, jika ditelisi satu per satu, aktivitas dalam maulid tidak ada yang bertentangan dengan syariat.

Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam kitab “Haula al-Ihtifal bi Dzikri Maulidir Rosul” menyebutkan bahwa orang yang pertama kali merayakan maulid adalah Nabi Muhammad SAW sendiri. Suatu ketika, Rasulullah ditanya oleh para sahabat mengapa beliau berpuasa pada hari Senin. Beliau menjawab, “Itu adalah hari kelahiranku, dan aku berpuasa pada hari itu sebagai bentuk syukur.” (HR. Muslim).

Namun, sebagai sebuah event besar yang dihelat untuk umum, sejarah mencatat Raja Malik Mudhoffar Abu Sa’id pada abad ke-4 Hijriah sebagai pelopor utamanya. Ia mengadakan perayaan dengan mengumpulkan banyak orang, bersedekah, membaca siroh nabawiyah, dan bersholawat. Imam As-Suyuthi dalam Al-Hawi lil Fatawi mengutip dari Ibnu Zaujiyyah dalam Mir’atuz Zaman yang menceritakan kemegahan acara yang digelar raja yang adil dan dermawan ini, dengan menyediakan ribuan hewan qurban dan hidangan untuk rakyatnya.

Kapan Tanggal Lahir Nabi Muhammad SAW?

Para sejarawan memang berbeda pendapat mengenai tanggal pasti kelahiran Nabi.Pendapat yang paling kuat (rojih) adalah tanggal 12 Rabiul Awal Tahun Gajah. Dalam penanggalan Masehi, beberapa pendapat menyebutkan sekitar 14 April 571 M. Sementara Syekh Muhammad Ridha dalam kitab “Muhammad Rasulullah” justru berpendapat tanggal 20 Agustus 570 M.

Bagaimana Hukum Merayakan Maulid Nabi?

Pertanyaan tentang hukum merayakan maulid telah diajukan sejak berabad-abad lalu.Imam Jalaluddin As-Suyuthi (849-911 H) telah menjawabnya dalam kitab Al-Hawi Li Al-Fatawi. Beliau menyatakan bahwa asal perayaan maulid—yaitu berkumpulnya orang banyak, membaca Al-Qur’an, meriwayatkan kisah-kisah tentang Nabi, dan kemudian menghidangkan makanan—adalah termasuk Bid’ah Hasanah (inovasi yang baik). Pelakunya mendapat pahala karena dalam acara itu terdapat bentuk pengagungan terhadap Nabi dan menampakkan kebahagiaan atas kelahirannya.

Hakikat maulid adalah bentuk ungkapan syukur dan kegembiraan atas diutusnya Nabi Muhammad SAW, sang rahmat bagi seluruh alam. Alloh SWT berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah (Muhammad), Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58)

Banyak ulama menafsirkan bahwa “rahmat” dalam ayat ini merujuk pada Nabi Muhammad SAW, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Anbiya’: 107: “Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”

Bahkan, dalam sebuah syair yang dinukil oleh Al-Hafizh Ad-Dimasyqi, disebutkan bahwa orang kafir saja diringankan adzabnya setiap hari Senin karena ia bergembira dengan kelahiran Nabi. Lalu bagaimana dengan seorang muslim yang sepanjang hidupnya bergembira dengan Nabi Muhammad dan mati dalam keadaan beriman?

Penutup/Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan para ulama,perayaan Maulid Nabi yang diisi dengan aktivitas positif seperti mengingat siroh nabawiyah, bersholawat, bersedekah, dan menebar kebaikan merupakan bentuk ungkapan syukur yang diperbolehkan bahkan terpuji. Esensinya adalah meneladani akhlak Rasulullah SAW dan memperkuat kecintaan kita kepadanya, bukan sekadar seremonial belaka. Namun, penting untuk menjaga acara tersebut dari hal-hal yang bertentangan dengan syariat, seperti ikhtilath (campur baur lawan jenis yang bukan mahram) dan kemungkaran lainnya. Wallahu a’lam bish-shawab.

Referensi

As-Suyuthi, J. Al-Hawi lil Fatawi. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.

Ar-Ridha, M. (2010). Muhammad Rasulullah. Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyah.

Al-Maliki, M. B. A. Haula al-Ihtifal bi Dzikri Maulid an-Nabawi.

Posted on Leave a comment

Mengenal Nasab dan Keluarga Nabi: Dari Orang Tua Hingga Keturunannya

Bulan Rabiul Awal, yang dikenal sebagai bulan maulid Nabi, adalah momen terbaik untuk memperdalam kecintaan kita kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Salah satu caranya adalah dengan mengenal garis keturunan (nasab) dan keluarga besar Beliau. Jangan sampai kita lebih hafal silsilah artis atau publik figur daripada nasab manusia paling mulia di muka bumi ini. Artikel ini akan mengulas secara runut tentang nasab, ibu susuan, istri-istri, dan putra-putri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

 Nasab Mulia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam

Syekh Ahmad al-Marzuki dalam kitab Aqidatul Awam menjelaskan nasab Nabi dengan dua bait nadzam yang ringkas:

أَبوه عبد الله عبد المطلب  #  وهاشم عبد مناف ينتسب

وأمه آمنة الزهرية     #   أرضعه حليمة السعدية

“Ayahanda Nabi adalah Abdullah putra Abdul Muthalib. Abdul Muthalib putra Hasyim, dan Hasyim putra Abdu Manaf. Ibunda Nabi bernama Sayyidah Aminah az-Zuhriyah. Sedangkan yang menyusuinya adalah Sayyidah Halimah as-Sa’diyah.”

Secara lengkap, nasab Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam hingga ke Nabi Ismail ‘alaihis salam adalah sebagai berikut:

  1.  Abdullah
  2. Abdul Muthalib
  3. Hasyim
  4. Abdu Manaf
  5. Qushay
  6. Kilab
  7. Murrah
  8. Ka‘ab
  9. Lu’ay
  10. Ghalib
  11. Fihr (Nadhar)
  12. Malik
  13. Kinanah
  14. Khuzaimah
  15. Mudrikah
  16. Ilyas
  17. Mudhar
  18. Nizar
  19. Ma‘ad
  20. Adnan

Meski ada riwayat yang menyambungkan nasab hingga Nabi Adam, para ulama berbeda pendapat mengenai keabsahannya. Oleh karena itu, yang wajib kita ketahui dan diyakini adalah nasab hingga Adnan.

Secara lengkap, nasab Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam hingga ke Nabi Ismail ‘alaihis salam adalah sebagai berikut:

Ibu-Ibu yang Menyusui Nabi

Tidak hanya ibu kandung, Nabi juga memiliki ibu susuan. Dalam kitab Nurudz Dzolam, Syekh Nawawi al-Bantani menerangkan bahwa ada tiga orang wanita yang menyusui Nabi:

  1. Sayyidah Aminah (ibu kandung Beliau), hanya selama tiga hari.
  2. Tsuwaibah, budak wanita Abu Lahab, dalam hitungan hari.
  3. Halimah binti Abi Dzuaib as-Sa‘diyah, yang menyusui Beliau hingga usia kanak-kanak.

Ummahatul Mukminin: Istri-Istri Nabi

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memiliki 12 orang istri. Berikut adalah daftar mereka:

  1. Khadijah binti Khuwailid
  2. Saudah binti Zam‘ah
  3. Aisyah binti Abu Bakar
  4. Hafshah binti Umar
  5. Zainab binti Khuzaimah
  6. Ummu Salamah (Hindun)
  7. Zainab binti Jahsy
  8. Juwairiyah binti Al-Harits
  9. Ummu Habibah (Ramlah) binti Abu Sufyan
  10. Shafiyah binti Huyay
  11. Mariyah al-Qibtiyah
  12. Maimunah binti al-Harits

Namun, saat Rasulullah wafat, Beliau meninggalkan sembilan istri. Syekh Ahmad al-Marzuki dalam Aqidatul Awam menuliskan:

عن تسع نسوة وفاة المصطفى #   خيرن فاخترن النبي المقتفى

عائشة وحفصة وسودة  #  صفية ميمونة ورملة

هند وزينب كذا جويرية #  المؤمنين امهات مرضية

“Terdapat sembilan istri yang ditinggalkan wafatnya Al-Musthafa. Mereka diberi pilihan (untuk tetap setia atau tidak), lalu mereka memilih untuk mengikuti Nabi. Mereka adalah Aisyah, Hafshah, Saudah, Shafiyah, Maimunah, Ramlah (Ummu Habibah), Hindun (Ummu Salamah), Zainab (binti Jahsy), dan Juwairiyah. Mereka adalah ibu-ibu orang beriman (Ummahatul Mukminin) yang diridhai.”

Perlu diketahui dan dicatat, bahwa pernikahan Nabi yang lebih dari empat istri adalah kekhususan yang hanya diberikan oleh Allah kepada Beliau.

Putra-Putri Keturunan Nabi

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dikaruniai tujuh orang anak: tiga putra dan empat putri. Syekh Muhammad al-Fudholi dalam Kifayatul Awam menganjurkan kita untuk mengetahui urutan mereka.

Berikut urutan putra-putri Nabi:

  1. Qasim (Nabi juga dipanggil Abul Qasim karena putra ini)
  2. Zainab
  3. Ruqayyah
  4. Fatimah
  5. Ummu Kultsum
  6. Abdullah (dijuluki ath-Thayyib dan ath-Thahir)
  7. Ibrahim

Dari Qasim hingga Abdillah dilahirkan dari rahim Sayyidah Khadijah. Sedangkan Ibrahim adalah putra dari Mariyah al-Qibtiyah.

Kesimpulan

Mengenal nasab dan keluarga Nabi bukanlah sekadar pengetahuan sejarah. Ini adalah wujud kecintaan dan pengagungan kita kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dengan mengetahui silsilah dan kehidupan keluarganya, kita semakin yakin akan kemuliaan dan keutamaan Beliau. Semoga dengan ilmu ini, kita dapat meneladani akhlak dan perjuangan Beliau serta keluarganya dalam kehidupan sehari-hari.

Referensi

Al-Marzuki, A. (2005.). Matan Aqidah Al-Awam. Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyah.

An-Nawawi, M. (2005). Nuruzh Zhalam Syarh Aqidatul Awam. Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyah.

Ar-Ridha, M. (2010). Muhammad Rasulullah SAW. Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyah.

Posted on Leave a comment

5 Peristiwa Luar Biasa yang Menyertai Kelahiran Nabi Muhammad SAW

Kelahiran Nabi Muhammad ﷺ adalah peristiwa agung yang mengubah peta peradaban dunia. Sebagai manusia paling mulia, kelahiran Beliau disambut dengan berbagai peristiwa luar biasa (irhâshât) yang menjadi tanda akan datangnya seorang Nabi penutup. Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa meskipun Beliau adalah manusia, namun Beliau bukanlah manusia biasa. Sebagaimana diungkapkan dalam syair:

محمد بشر لا كالبشر # بل هو كالياقوت بين الحجر

Artinya :“Muhammad adalah manusia tapi tidak seperti manusia (pada umumnya), tapi beliau seperti batu (permata) Yaqut di antara batu-batu kerikil (biasa)”.

Berikut adalah lima peristiwa besar yang menyertai kelahiran Sang Rasul Agung:

1. Hancurnya Pasukan Gajah Abrahah

Nabi Muhammad SAW lahir pada Tahun Gajah.Dinamakan demikian karena pada tahun itu, Raja Abrahah dari Yaman—yang iri dengan kemasyhuran Ka’bah—menyerang Mekah dengan pasukan besar yang termasuk di dalamnya gajah-gajah perang. Tujuan mereka adalah menghancurkan Ka’bah. Namun, rencana ini digagalkan oleh Allah SWT dengan mengirimkan burung Ababil yang melempari mereka dengan batu dari neraka yang membinasakan. Peristiwa agung ini diabadikan dalam Al-Qur’an Surat Al-Fiil.

2. Ucapan Syukur dan Kalimat Tauhid Saat Lahir

Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Nurudz Dzolam menjelaskan[1], Rasulullah SAW lahir dalam keadaan sudah berkhitan, bercelak, dan bersih. Yang lebih mengagumkan, saat baru keluar dari rahim ibunya, beliau langsung mengucapkan: “

الله أكبر كبيرا والحمد الله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا

Artinya : Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, dan Maha Suci Allah pada waktu pagi dan petang. (Syekh Nawawi, Nurudz Dzolam, Cet. Jakarta : Darul Kutub Al Islamiyah. Hal. 48)

Selain itu, Ibunda Beliau, Sayyidah Aminah, juga tidak merasakan sakit atau keberatan sedikit pun selama mengandung Nabi Muhammad SAW.

3. Runtuhnya Istana Kisra dan Padamnya Api Majusi

Pada malam kelahiran Nabi, istana Kisra (penguasa Persia) yang megah mengalami goncangan hebat hingga menyebabkan empat belas balkonnya runtuh. Secara bersamaan, api abadi yang disembah oleh kaum Majusi—yang telah menyala selama seribu tahun—tiba-tiba padam. Peristiwa ini adalah isyarat nyata dari Allah SWT bahwa kebatilan (kerajaan Persia yang zalim dan penyembahan api) akan hancur dengan diutusnya Rasulullah ﷺ.

Kisah ini direkam oleh Imam al-Bushiri dalam kasidah Burdah-nya:

وبات إيوان كسرى وهو منصدع # كشمل أصحاب كسرى غير ملتئم

والنار خامدة الأنفاس من أسف # عليه والنهر ساهي العين العين من سدم

Artinya:

Saat menjelang malam tiba, istana Kisra (Persia) hancur terbelah. Sebagaimana sekumpulan sekumpulan orang-orang Kisra (Persia) terpecah belah.

Api sesembahan padam karena duka yang mencekam. Sungai Eufrat tak mengalir, muram karena susah yang amat dalam.

4. Tertutupnya Akses Jin dan Setan ke Langit

Sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, jin dan setan memiliki akses untuk naik ke langit dan mencuri berita-berita gaib untuk menipu manusia dan para peramal. Namun, sejak Beliau dilahirkan, pintu-pintu langit ditutup rapat bagi mereka dan dijadikan tempat yang dijaga ketat oleh para malaikat. Hal ini melindungi wahyu dan berita langit dari campur tangan setan.

5. Keberkahan yang Diraih Halimah As-Sa’diyah

Halimah adalah wanita dari suku Sa’diyah yang miskin dan sedang dilanda paceklik.Ia datang ke Mekah untuk mencari bayi yang dapat disusui demi mendapatkan upah. Saat itu, tidak ada yang mau menyusui bayi yatim dari keluarga sederhana, Muhammad. Halimah, yang hampir putus asa, akhirnya mengambilnya.

Sejak itulah, keberkahan demi keberkahan menghampiri keluarga Halimah. Kambing-kambingnya yang kurus kembali gemuk dan menghasilkan susu yang melimpah. Tanah yang tandus menjadi subur. ASI Halimah sendiri, yang sebelumnya sulit keluar, mengalir deras sehingga dapat mencukupi kebutuhan bayi Muhammad dan anak kandungnya. Semua ini adalah pertanda bahwa bayi yang disusuinya adalah calon Nabi yang membawa rahmat bagi semesta.

Kesimpulan

Kelima peristiwa luar biasa ini adalah bukti nyata akan kebenaran kenabian Muhammad ﷺ. Mukjizat-mukjizat ini bukan sekadar dongeng, tetapi merupakan tanda-tanda ilahi yang menunjukkan betapa agung dan istimewanya pribadi yang diutus untuk menyempurnakan akhlak dan membawa umat manusia dari kegelapan menuju cahaya. Semoga kita dapat mengambil hikmah dan semakin meningkatkan kecintaan kita kepada Rasulullah ﷺ.


[1] Nawawi, M. (2008). Nurudz Dzolam. Jakarta: Dar al Kutub Al Islamiyah.

Referensi

Nawawi, M. (2008). Nurudz Dzolam. Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyah.

Al-Bushiri, I. Qoshidah Al-Burdah

Posted on Leave a comment

5 Bekal Spiritual Menyambut Maulid Nabi Agar Lebih Berkah dan Bermakna

Memasuki bulan Rabiul Awal, umat Islam perlu mempersiapkan hati dan amal untuk menyambut kelahiran Sang Rahmatan lil ‘Alamin. Simak lima bekal spiritual berikut agar peringatan Maulid Nabi tahun ini lebih bermakna.

Pada hari ini, kita sudah memasuki bulan di mana sosok makhluk paling mulia lahir ke dunia, Baginda Nabi Muhammad ﷺ, yakni bulan Rabiul Awal atau yang dikenal sebagai bulan Maulid. Sebagian ulama menyatakan bahwa kemuliaan bulan Maulid bahkan melebihi bulan Ramadhan. Alasannya, karena di bulan Maulid ini, Nabi Muhammad yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta (Rahmatan lil ‘Alamin) dilahirkan, sementara kemuliaan Ramadhan terkhusus untuk umat Islam.

Karena kemuliaannya yang agung, sudah selayaknya kita menyiapkan diri sebaik-baiknya. Dengan bekal yang tepat, kita dapat meraih keberkahan dan kebaikan yang melimpah, serta menjadikan kita pribadi yang lebih dekat dengan Nabi.

Lalu, apa saja bekal spiritual yang dapat kita persiapkan? Setidaknya, ada lima bekal utama yang bisa kita siapkan untuk menyambut bulan kelahiran Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam

1. Bekal Ilmu: Memahami Hakikat dan Sejarah Maulid

Bekal pertama dan paling utama adalah ilmu. Memahami hakikat peringatan Maulid Nabi berarti memahami esensi dari rasa cinta dan kegembiraan atas kelahirannya. Merayakan Maulid merupakan wujud syukur dan bukti cinta kita kepada Rasulullah, sekaligus bentuk pengharapan akan syafaat (pertolongan) beliau di hari Kiamat kelak.

Tradisi peringatan Maulid bukanlah hal yang baru. Ia telah berlangsung dari generasi ke generasi para ulama. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Muhammad Rasulullah karya Syaikh Muhammad Ridha, yang menukil perkataan Imam As-Sakhawi, bahwa perayaan

Maulid Nabi mulai muncul setelah kurun tiga generasi terbaik (abad ke-4 Hijriyah), dan kemudian terus diamalkan oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia. Mereka mengisinya dengan membaca sirah (perjalanan hidup) Nabi, bersedekah, dan berbagi kebaikan pada malam-malamnya.

2. Bekal Cinta: Memperbanyak Sholawat

Sholawat adalah amalan yang paling utama untuk memperkuat cinta kita kepada Rasulullah. Keutamaan membaca sholawat sangatlah agung. Ia adalah satu-satunya ibadah yang tidak hanya dikerjakan oleh manusia, tetapi juga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para malaikat-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

 “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)

3. Bekal Keteladanan: Mempelajari dan Mengamalkan Sirah Nabawiyah

Bulan Maulid adalah momen tepat untuk lebih dalam mengenal, mempelajari, dan meneladani akhlak mulia Rasulullah. Dengan mempelajari Sirah Nabawiyah, kita seakan hidup dan berjalan bersama beliau. Banyak sumber yang bisa kita jadikan rujukan. Jika melalui kitab, kita dapat membaca:

–   Muhammad Rasulullah ﷺ karya Syaikh Muhammad Ridha

–   Nurul Yaqin karya Syekh Khudori Bek

–   Nurudz Dzolam Syarah Aqidatul Awam karya Syekh Nawawi bin Umar al-Jawi.

Jika mempelajarinya melalui platform digital seperti YouTube, pastikan sumbernya kredibel dan sanad keilmuannya jelas, seperti dari Nabawi TV, NU Online, atau Santri Gayeng.

4. Bekal Amal Shaleh: Memperbanyak Sedekah dan Kebaikan

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia paling dermawan. Diceritakan dalam suatu kesempatan, beliau pernah mempercepat shalatnya. Usai shalat, beliau segera menyuruh seorang sahabat mengambil kurma yang disimpan di rumahnya untuk segera disedekahkan. Beliau tidak suka menimbun harta.

Kita sangat dianjurkan untuk meneladani kedermawanan beliau dengan memperbanyak sedekah dan berbuat kebaikan, sekecil apa pun itu. Jangan pernah meremehkan kebaikan, walau hanya sebatas senyuman tulus atau menyingkirkan duri dari jalan. Bisa jadi, kebaikan kecil itulah yang akan mendatangkan ridha Allah dan menyelamatkan kita dari api neraka.

5. Bekal Evaluasi Diri: Muhasabah untuk Jadi Pribadi Lebih Baik

    Bekal terakhir adalah muhasabah atau evaluasi diri. Umur kita terus berkurang, dan setiap detiknya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Sebagaimana nasihat ulama salaf: “Hâsibu anfusakum qabla an tuhâsabu” (Hitung-hitunglah dirimu sendiri sebelum kamu dihisab pada hari Kiamat).

    Cara bermuhasabah adalah dengan merenung: Apa yang telah kita lakukan hari, minggu, atau bulan ini? Apakah lebih banyak digunakan untuk kebaikan, menganggur, atau justru untuk keburukan? Dari mana sumber harta kita, halal atau tidak? Dan untuk apa kita gunakan? Sebagai pelajar, orang tua, karyawan, atau ibu rumah tangga, sudahkah kita menunaikan kewajiban dengan maksimal.

    Dari muhasabah inilah, kita bisa mulai memperbaiki diri langkah demi langkah untuk meneladani akhlak Nabi, sesuai dengan kapasitas kita.

    Penutup

    Memperingati Maulid Nabi bukan sekadar ritual tahunan, tetapi adalah proses untuk menghidupkan kembali kecintaan dan keteladanan kita kepada Rasulullah ﷺ. Dengan kelima bekal spiritual ini—ilmu, sholawat, sirah, amal shaleh, dan muhasabah—insyaallah kita dapat menyambut bulan Rabiul Awal dengan penuh keberkahan. Semoga kita menjadi umat yang mendapat cinta dan syafaat beliau di yaumil hisab nanti. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

    Referensi

    Ar-Ridha, M. (2010). Muhammad Rasulullah ﷺ. Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyah.

    Khudori, M. (2010). Nurul Yaqin. Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyah.

    Kementerian Agama RI. (2019). Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.