
Ghibah atau menggunjing adalah salah satu penyakit hati yang paling mudah dilakukan, namun paling berat dampaknya. Ia mengalir lewat kata-kata yang tampak sepele, tetapi mencederai kehormatan sesama dan menggelapkan hati pelakunya.
Dalam Risalah Qusyairiyah (Cet. Dar Al-Kutub al-Islamiyah: Jakarta, hal. 198), Imam Al-Qusyairi memberikan perhatian besar kepada bahaya ghibah, bahkan mengumpulkan kisah para sufi yang menunjukkan betapa hati-hatinya mereka dalam menjaga lisan.
Al-Qur’an memberikan peringatan terkait larangan berghibah:
﴾ ۚوَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ﴿
Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentulah kalian jijik.(QS. Al-Hujurat: 12)
Ayat ini menunjukkan bahwa ghibah bukan hanya dosa sosial, tetapi tindakan menjijikkan yang tidak layak dilakukan oleh orang beriman. Jika tubuh kita jijik memakan bangkai, maka hati kita seharusnya lebih jijik melakukan ghibah.
Dalam kitab Shahih Muslim (Maktabah Turoth, hal. 2001), Rasulullah ﷺ pun menjelaskan hakikat ghibah dengan tegas:
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ
Artinya : Tahukah kalian apa itu ghibah? Para sahabat menjawab, Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Beliau bersabda, Engkau menyebut tentang saudaramu sesuatu yang ia benci.
Ketika para sahabat bertanya, Bagaimana jika apa yang aku katakan itu benar? Nabi menjawab:
إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Artinya : Jika benar apa yang engkau katakan, engkau telah mengumpatnya. Jika tidak benar, engkau telah memfitnahnya. (HR. Muslim)
Di dalam Risalah Qusyairiyah, Imam Al-Qusyairi menyebutkan sebuah riwayat yang amat menakutkan. Pada hari kiamat, seorang hamba didatangkan dengan catatan amalnya. Namun ia tidak menemukan pahala salat, puasa, atau amal kebaikannya. Ia pun berkata, Di mana amal-amalku? Maka dikatakan kepadanya: Semua amalmu hilang karena engkau gemar menggunjing manusia.

Bagi kaum sufi, ghibah adalah tanda ketidakmurnian hati. Seorang salik yang masih sibuk melihat kekurangan orang lain sejatinya belum melihat kekurangan dirinya sendiri. Ghibah juga lahir dari kesombongan tersembunyi—keinginan untuk terlihat lebih baik dengan cara menjatuhkan kehormatan orang lain. Karena itu, perjalanan tasawuf mengajarkan bahwa menjaga lisan adalah menjaga hati; dan menjaga hati adalah menjaga hubungan dengan Allah.
Imam Muslim ibn Hajjaj dalam Shahih Muslim menulis bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ سَتَرَ عَلَى مُسْلِمٍ سَتَرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
Barangsiapa menutupi aib seorang Muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. (HR. Muslim)
Hadis ini seakan menjadi penawar bagi penyakit ghibah: jika ghibah menghapus amal, maka menutupi aib orang lain mengundang penjagaan Allah atas diri kita sendiri.
Dalam riwayat lain pada bagian yang sama disebutkan:
مَنْ اغْتِيبَ غَفَرَ اللهُ نِصْفَ ذُنُوبِهِ
Barangsiapa digunjing, Allah mengampuni separuh dosa-dosanya.
Dalam riwayat lain, ketika seseorang berkata kepada Hasan al-Bashri, “Si Fulan telah menggunjing Anda,” beliau pun mengirimkan kue kepada orang yang menggunjingnya, sambil menitipkan pesan, “Aku mendengar bahwa engkau telah menghadiahkan amal kebaikanmu kepadaku, maka aku ingin membalas kebaikanmu.”
Yahya bin Mu‘adz berkata, “Berikanlah kepada sesama Muslim tiga bentuk keuntungan ini: Jika engkau tidak mampu membantunya, maka jangan mengganggunya. Jika engkau tidak mampu membuatnya gembira, maka jangan membuatnya bersedih. Dan jika engkau tidak mampu memujinya, maka janganlah engkau mencari-cari kesalahannya.”
Dengan demikian, bab ghibah dalam Risalah Qusyairiyah bukan sekadar himbauan agar tidak mengumpat, tetapi tuntunan menyeluruh untuk membersihkan ruhani. Ketika seseorang menjaga lisannya, ia menjaga martabat dirinya, menjaga kehormatan sesama, dan menjaga kedekatannya dengan Allah.
Melalui kisah-kisah para sufi ini, kita belajar bahwa perjalanan menuju Allah adalah perjalanan menundukkan hawa nafsu dan menyucikan hati, dimulai dari mengawasi satu anggota tubuh yang paling kecil namun paling berbahaya: lisan.
Referensi
Karim, A.(2010). Al-Risalah al-Qusyairiyah. Jakarta: Dar Al Kutub Islamiyah hal. 198
Muslim, I. Shahih al-Mulim (CD: Maktabah Turoth). Hal. 2001.
Penulis: Alfin Haidar Ali


















